Sedekah adalah pintu kesuksesan seseorang dalam menjalani suatu usaha. Kyai Haji Yusuf Mansur, Aa Gym, misalnya dalam banyak ceramahnya seringkali menyampaikan pentingnya bersedekah kalau seseorang ingin sukses usahanya. Bahkan dalam hypnoselling, hipnoterapis Indonesia, Dr. Subhan menyampaikan bahwa sedekah dapat membuka pintu keberkaham bagi seseorang yang sedang berusaha dari jalan yang tak disangka sangka. Bilamana diterjemahkan dalam bahasa Arab, sedekah demikian itu berarti ‘jalbu rizki’, pembuka pintu rejeki. Dalam Al-Qur’an sudah pasti, Alloh menganjurkan seseorang untuk bersedekah. Alloh SWT berfirman, ‘watashoddaq, innalloha yajzil muttashoddiqiin’. Artinya, bersedekahlah engkau, sesungguhnya Alloh, akan mencukupi (membalas) kebutuhan orang-orang yang bersedekah. Singkatnya, orang bersedekah, hidupnya akan tercukupi. Kalau ia berusaha, usahanya akan dilancarkan oleh Alloh swt.
Namun demikian, sedekah itu sendiri tidak serta merta langsung menghasilkan kemudahan bagi seseorang. Terkadang, melalui sedekahnya seseorang diuji keyakinannya kepada Alloh. Seberapa bergantung ia kepada Alloh setelah ia bersedekah? Boleh jadi, sedekahnya itu kadang melupakan dirinya pada dzat yang memberi rejeki, sehingga ia bergantung diri pada sedekahnya dan tidak lagi bergantung pada Alloh. Dari situ, Alloh menguji iman seseorang yang bersedekah. Oleh sebab itu, tak heran, kadang kala seseorang telah bersedekah, tetapi rejeki tak segera tiba. Kisah Nanda di sini memberikan pelajaran kepada kita mengenai hal ini.
Nanda adalah mahasiswa yang telah mendapatkan inspirasi setelah mengikuti coaching atau training of selling motivation di Yogyakarta. Di samping belajar, ia juga sering mengikuti coaching tersebut. Ia pun akhirnya tertarik menjajal berwirausaha, berjualan kopi di Malioboro. Setelah ikut training, ia mendapatkan pencerahan pentingnya sedekah saat berusaha agar lancar usahanya. Ia pun mencoba melakukannya. Sejak memulai action nya, ia selalu bersedakah. Tidak besar sedekah yang ia keluarkan. Saat mau parkir motor, ia selalu memberikan uang lebih kepada tukang parkir. Hari pertama, dagangannya hanya terjual dua kopi di satu tempat itu. Nampaknya efek sedekahnya belum terasa. Namun, ia tidak memikirkannya dan ia pun menjalani usahanya tanpa pikir pikir soal sedekahnya itu. Sampai pada malam yang kedua, sesuatu yang tak terduga olehnya terjadi. Malam itu, dagangannya laris manis. Padahal, para pedagang yang lain, saar ia bertanya kepada mereka, malam itu, sepi. Bahkan, ada orang tua, yang telah enam belas kali bulak balik dari titik nol sampai stasiun tugu, dari jam empat sore sampai jam delapan malam, kopinya tidak terjual satu bungkus pun. Perihatin sekali. Tapi orang tua itu juga sempat menjatuhkan mental Nanda. Kalau mas bawanya begitu (cuma dijinjing tidak pakai keranjang, sulit lakunya) karena orang tidak jelas melihatnya sedang jualan kopi. Namun, kehendak Alloh berkata lain. Belum sampai satu jam, enam orang membeli kopinya. Kemudian tidak lama lagi menawarkan, ada lagi yang membeli sampai air panas di termosnya hampir habis. Sepuluh kopi berhasil terjual. Nanda tidak umbar umbar soal keterkejutannya ini kepada mereka. Namun ia sempat heran. “Katanya sepi? Tapi kok saya dapat ya?”. Saat itu pula ia pun ingat, mungkin ini balasan karena telah bersedekah. Sedekah seribu pada tukang parkir, dibalas sepuluh kopi terjual. Satu gelas kopi, seharga lima ribu. Jadi lima puluh ribu. “Seribu dibalas lima puluh ribu” kata Nanda.
Sejak saat itu, Nanda semangat bersedekah. Bahkan di benaknya, sedekah terus. Setiap lihat orang ia selalu terpikir, apa yang dapat diberikan kepada orang itu. Mentalnya pun berubah, jadi ingin selalu memberi. Bahkan, yang tidak ada, ingin ia adakan. Ia membuat program sedekah yang beragam, walaupun itu kecil kecilan. Sampai suatu hari, ia benar benar mengandalkan sedekah ini agar jualannya nanti malam laris manis. Bukan kebetulan, objek sedekah datang dengan sendirinya. Tanpa perhitungan, di datang seorang tamu ke rumahnya. Dimuliakannya tamu tersebut. Dirogohnya pesak untuk membeli hidangan kepadanya. Sampai hanya sedikit lagi uangnya yang tersisa, bahkan tidak cukup untuk membeli bensin. Namun, ia tetal senang dapat melakukan hal tersebut. Dan, dalam alam bawah sadarnya, Nanda berbisik, “moga moga malam ini laku lagi jualannya, apa yang saya keluarkan pasti terbalas (dibalas oleh Alloh), melalui apa dan siapa saja wasilahnya”.
Di samping sugesti demikian itu, Nanda juga berusaha bersungguh-sungguh ibadah. Sholat awal waktu dan dzikir dioptimalkan. Ia teringat pesan gurunya, ” sholat awal waktu tidak akan susah seumur hidup”. Demikian kata Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul. Bahkan di sepanjang jalan ia selalu bersholawat. Namun, saat itu lah ternyata suatu keadaan yang aneh mulai dirasakannya. Di tengah jalan pikirannya nampak buyar. Hatinya jadi gelisah. Ternyata, ia ingat bahwa sendoknya untuk mengocek kopi, tertinggal di kontrakan. Ia agak kesal dengan hal ini. Ia pun balik lagi ke kontrakan untuk mengambilnya. Cepat cepat ia segera menuju Malioboro setelah mengambil sendoknya. Sudah tidak sabar berjualan. Namun, keadaan gelisah, masih belum hilang. Sembari berkendaraan, ia merasa ada yang aneh. Tidak seperti hari-hari sebelumnya. Tapi Nanda tetap berangkat serta tidak mengetahui apa yang terluput darinya. Ia hanya mencoba meyakinkan diri sendiri, “dalam keadaan gelisah begini, jualan harus tetap jalan”.
Sampai diparkiran, ia sedekah lagi. Berharap lancar jualanya. Namun, ternyata terjadi suatu yang membuatnya kesal. Ternyata gelas plastiknya tertinggal di kontrakan. Padahal sudah ada dua orang memesan kopinya. Ia pun mencari cari penjual gelas plastik. Di sini ia juga kesal lagi. Ternyata harga gelasnya tujuh ribu lima ratus, sedanhkan ia hanya punya lima ribu. Malah, penjualnya tidak mau dihutangi dulu. Terpaksa ia mencari pinjaman dua ribu. Dan untungnya ada ibu ibu yang meminjami uang itu sehingga ia bisa membeli gelasnya. Namun di sini, ia bukan merasa lega, justru gelisah lagi. Karena, si penjual gelas melarangnya membeli gelas di warungnya karena malu oleh ulahnya. Nanda bilang kepada warung sebelah bahwa si ibu itu, tidak mau membantu dirinya meminjami dua ribu saja, padahal akan diganti setelah jualan nanti. Ini membuat Nanda tidak konsen berdagang karena merasa berdosa. Namun Nanda berusaha tenang, tapi tidak berhasil. Ia jadi susah senyum. Merasa berat hatinya. Keadaan batin yang begini, mungkin berpengaruh pada jualannya. Sudah tiga kali bulak balik dari titik nol sampai stasiun tugu, hanya satu kopi yang terjual. Nanda heran. Padahal sudah bersedekah.
“Apa sebab jadi begini?” tanya Nanda dalam hati. Mungkin gara gara si ibu tadi kesal padanya. Mendoakan tidak baik pada dirinya. Tapi Nanda ego. Ia anggap justru ibu itu yang salah karena tidak mau bantu dirinya dalam keadaan sulit, padahal hanya dua ribu saja. Selama Nanda berpikir seperti itu, dan menganggap dirinya sudah menabung sedekah, jualannya tidak laku. Nanda pun akhirnya menyemai rasa. “Kenapa begini? Apa ini penyebabnya, dagangannya jadi tidak laku?”. Ia juga mulai melupakan kebaikan yang sudah dilakukannya. Lalu fokus pada dirinya yang telah membuat kesal si ibu tadi. Ia berbisik “ya Alloh, baru laku satu, tidak cukup buat belo bensin dan makan besok”. Di sini ia lupa rencana-rencana sedekah yang sudah dilist olehnya. “Saya harus bagaimana kalau begini?”. Ujarnya. Ia pun jadi pasrah. Ia sadar pasti gara gara si ibu kesal tadi, ia jadi susah jualannya. Entah, Nanda jadi fokus pada kesalahannya. Di sana ia menyesal. Namun belum juga laku jualannya. “Lalu, apa yang harus saya lakukan?”. Saat itu, ia tiba tiba teringat pesan guru ngaji di madrasahnya, bahwa saat sulit, Nabi Nuh membaca istighfar, “Laa Ilaaha Illaa Anta Subhaanka Innii kuntu minaddzaalimiin”. Sejak ingay itu, ia beralih ke tempat dagang yang agak sepi penjualnya di alun alun. Dan selama berjualan ia membaca istigfar tersebut. Tanpa memikirkan akan laku, tanpa lama memutari alun alun, beberapa meter berjalan, tujuh kopi terjual, bahkan ada orang yang memanggilnya membeli kopi, tanpa menawarkan terlebih dahulu sampai akhirnya air panas di termos habis. Ia pun bisa pulang membawa uang, bisa beli bensin, dan lebih dari cukup untuk makan besok pagi. Dalam benaknya, Nada berkata, sekalipun orang bersedekah, Alloh akam tetap mengujinya, sampai yakin bahwa Alloh yang memberi rejeki, bukan sedekah yang dilakukannya, tapi dari sini, ia pun dapat belajar lagi arti sedekah dalam hidup.