Idul Adha Hari Besar Umat Islam

Idul Adha adalah hari besar umat Islam. Demikian ini terjadi karena pada hari tersebut, umat Islam melakukan hal hal yang besar. Orang yang kaya merogoh pesaknya untuk membeli hewan kurban, baik itu kambing maupun sapi. Itu adalah sesuatu yang besar, karena yang dilakukannya itu untuk kemanfaatan orang banyak. Orang yang tak punya uang, karena ada kurban, jadi dapat merayakan hari Idul Adha. Secara tidak langsung, bisa diartikan, hari raya Idul Adha ini adalah hari raya berkurban. Dan nampaknya ini lah perbedaanya antara Idul Adha dan Idul Fitri.

Sementara di samping itu, Idul Adha sama dengan Idul Fitri. Tadi malam kita sama-sama telah melakukan takbiran. Lafalnya ini, “allohu akbar, allohu akbar, allohu akbar, laa ilaaha illallohu allohu akbar, allohu akbar walillahil hamdu”. Sama juga, Idul Adha takbirnya sebanyak tujuh kali untuk rokaat yang pertama dan lima kali untuk rokaat yang kedua. Tapi bedanya, Idul Adha, sholat dilaksanakan lebih awal dari pada Idul Fitri sementara idul fitri sholatnya agak siang. Ini supaya kita dapat bersegera menyembelih hewan kurban. Itu adalah sedikit persamaan dan perbedaan antara Idul Adha dan Idul Fitri. Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud menceritakan hal tersebut.  Tulisan ini ingin melihat sisi lain dari Idul Adha yaitu dari sisi motivasinya Idul Adha itu diadakan. Mengapa Idul Adha diadakan? Apa motivasinya?

Jawabannya sudah sering kita dengar dalam ceramah-ceramah Idul Adha. Motivasi Idul Adha diadakan dapat kita simak dari kisah nabi Ibrahim as yang mendapatkan perintah dari Alloh swt untuk berkurban. Tujuannya untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Dalam hal ini, beliau diperintahkan oleh Alloh untuk mengurbankan anaknya yaitu nabi Ismail as. Setelah mendengar perintah tersebut, nabi Ibrahim dan nabi Ismail berdialog yaitu perihal apakah anaknya ini, yang dicintainya, mau memenuhi perintah Alloh. Begitu juga sang ayah, apakah dapat merelakannya. Ternyata, keduanya rela. Setelah terjadi kerelaan diantara keduanya, terjadilah prosesi kurban. Namun demikian, yang terjadi, nabi Ismail tidak jadi dikurbankan, melainkan Alloh swt, menggantinya dengan seekor kambing.

Peristiwa ini adalah satu kisah yang menakjubkan yang ada dalam Al-Qur’an. Bilamana hal itu terjadi tepat di hadapan kita, tentu kita akan takjub. Di hadapan kita terjadi sesuatu yang sebelumnya kita mungkin menduga, itu tidak mungkin terjadi. Sehingga kejadian itu akhirnya dapat menambah kadar keimanan kita kepada Alloh swt, bahwa ialah dzat yang maha kuasa. Oleh karena demikian, qurban ini juga sebagai sebuah upaya bagi seseorang untuk meningkatkan keimanan kepada Alloh.

Sementara itu, motivasi yang lainnya sebagaimana kisah diatas, bahwa kurban dilakukan sebagai ajang bagi kita untuk belajar merelakan sesuatu yang kita cintai lepas dari genggaman kita ketika Alloh swt memintanya untuk kembali. Dalam hal ini, Alloh juga menguji seberapa besar kecintaan kita kepada-Nya dibandingkan dengan kecintaan kita kepada apa yang kita cintai. Dalam konteks nabi Ibrahim adalah, ia diuji untuk merelakan anaknya diambil oleh Alloh. Namun dalam konteks kita sekarang ini adalah harta. Kekayaan kita yang sudah lebih dari cukup, yang telah kita raih dengan jerih payah, diuji oleh Alloh, apakah kita dapat merelakannya sebagian saja, untuk diberikan kepada orang lain.

Sekilas nampaknya, harta kita yang dikeluarkan untuk berkurban, terwujud pada bentuk fisiknya, sapi atau kambing. Lalu, hewan tersebut dinikmati oleh banyak orang. Namun di samping itu, hakikatnya, harta yang telah kita keluarkan tersebut, bukan hanya untuk hal tersebut melainkan di sana ada infestasi yang lain. Dalam hal ini adalah untuk investasi takwa kita yang diharapkan sampai kepada Alloh. Karena sebagaimana tersurat dalam Al-Qur’an, yang Alloh lihat dan terima, bukan daging hewan yang disembelih melainkan ketaqwaan kita pada-Nya. Oleh karena demikian, motivasi berkurban di samping untuk mendekatkan diri kepada Alloh, belajar merelakan apa yang kita cintai lepas dari genggaman kita, untuk meningkatkan keimanan kepada Alloh, juga sebagai ajang untuk bertaqwa kepada-Nya.

Selanjutnya kita dapat menarik arti yang lain dari berkurban ini. Proses ini, dapat kita terjemahkan, bukan hanya sekedar proses penyembelihan hewan kurban, membagikannya kepada orang lain sebagai bentuk kepedulian sosial antara orang kaya dan orang miskin. Akan tetapi juga sebagai proses bertauhid kepada Alloh secara utuh. Dalam hal ini, rela (tafwidh) melepaskan sesuatu yang kita cintai saat Alloh menginginkannya kembali.

Berdzikir Jalan Meraih Budi Pekerti Luhur

Berdzikir adalah kegiatan mengingat Alloh SWT. Dzikir diperintahkan oleh Alloh. Sebagaimana ia berfirman dalam Al-Qur’an, “bilamana kalian sudah selesai sholat, maka berdzikir lah kepada Alloh”. Dalam tulisannya ini, Deni Kusuma membahas tentang dzikrulloh. Ia membahas bahwa dzikir adalah sebagai alat bagi seseorang untuk meraih budi pekerti yang luhur. Dengan dzikir, seseorang dapat termotivasi untuk selalu berbuat kebaikan, menerima kenyataan serta penuh harapan. Dzikir juga adalah cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Alloh, meneladani Rasululloh serta para ahli warisnya yakni auliyaa Alloh. Baca selanjutnya tentang dzikir ini dalam website berikut ini.

http://googleweblight.com/?lite_url=http://percikaniman.id/2016/12/27/belajar-berdzikir-meraih-budi-pekerti-luhur/&lc=en-ID&s=1&m=745&host=www.google.co.id&ts=1482881747&sig=AF9NedkP5btYlIQdqMYDDEILp3TFJmINvw

Ujian Sedekah

Sedekah adalah pintu kesuksesan seseorang dalam menjalani suatu usaha. Kyai Haji Yusuf Mansur, Aa Gym, misalnya dalam banyak ceramahnya seringkali menyampaikan pentingnya bersedekah kalau seseorang ingin sukses usahanya. Bahkan dalam hypnoselling, hipnoterapis Indonesia, Dr. Subhan menyampaikan bahwa sedekah dapat membuka pintu keberkaham bagi seseorang yang sedang berusaha dari jalan yang tak disangka sangka. Bilamana diterjemahkan dalam bahasa Arab, sedekah demikian itu berarti ‘jalbu rizki’, pembuka pintu rejeki. Dalam Al-Qur’an sudah pasti, Alloh menganjurkan seseorang untuk bersedekah. Alloh SWT berfirman, ‘watashoddaq, innalloha yajzil muttashoddiqiin’. Artinya, bersedekahlah engkau, sesungguhnya Alloh, akan mencukupi (membalas) kebutuhan orang-orang yang bersedekah. Singkatnya, orang bersedekah, hidupnya akan tercukupi. Kalau ia berusaha, usahanya akan dilancarkan oleh Alloh swt.

Namun demikian, sedekah itu sendiri tidak serta merta langsung menghasilkan kemudahan bagi seseorang. Terkadang, melalui sedekahnya seseorang diuji keyakinannya kepada Alloh. Seberapa bergantung ia kepada Alloh setelah ia bersedekah? Boleh jadi, sedekahnya itu kadang melupakan dirinya pada dzat yang memberi rejeki, sehingga ia bergantung diri pada sedekahnya dan tidak lagi bergantung pada Alloh. Dari situ, Alloh menguji iman seseorang yang bersedekah. Oleh sebab itu, tak heran, kadang kala seseorang telah bersedekah, tetapi rejeki tak segera tiba. Kisah Nanda di sini memberikan pelajaran kepada kita mengenai hal ini.

Nanda adalah mahasiswa yang telah mendapatkan inspirasi setelah mengikuti coaching atau training of selling motivation di Yogyakarta. Di samping belajar, ia juga sering mengikuti coaching tersebut. Ia pun akhirnya tertarik menjajal berwirausaha, berjualan kopi di Malioboro. Setelah ikut training, ia mendapatkan pencerahan pentingnya sedekah saat berusaha agar lancar usahanya. Ia pun mencoba melakukannya. Sejak memulai action nya, ia selalu bersedakah. Tidak besar sedekah yang ia keluarkan. Saat mau parkir motor, ia selalu memberikan uang lebih kepada tukang parkir. Hari pertama, dagangannya hanya terjual dua kopi di satu tempat itu. Nampaknya efek sedekahnya belum terasa. Namun, ia tidak memikirkannya dan ia pun menjalani usahanya tanpa pikir pikir soal sedekahnya itu. Sampai pada malam yang kedua, sesuatu yang tak terduga olehnya terjadi. Malam itu, dagangannya laris manis. Padahal, para pedagang yang lain, saar ia bertanya kepada mereka, malam itu, sepi. Bahkan, ada orang tua, yang telah enam belas kali bulak balik dari titik nol sampai stasiun tugu, dari jam empat sore sampai jam delapan malam, kopinya tidak terjual satu bungkus pun. Perihatin sekali. Tapi orang tua itu juga sempat menjatuhkan mental Nanda. Kalau mas bawanya begitu (cuma dijinjing tidak pakai keranjang, sulit lakunya) karena orang tidak jelas melihatnya sedang jualan kopi. Namun, kehendak Alloh berkata lain. Belum sampai satu jam, enam orang membeli kopinya. Kemudian tidak lama lagi menawarkan, ada lagi yang membeli sampai air panas di termosnya hampir habis. Sepuluh kopi berhasil terjual. Nanda tidak umbar umbar soal keterkejutannya ini kepada mereka. Namun ia sempat heran. “Katanya sepi? Tapi kok saya dapat ya?”. Saat itu pula ia pun ingat, mungkin ini balasan karena telah bersedekah. Sedekah seribu pada tukang parkir, dibalas sepuluh kopi terjual. Satu gelas kopi, seharga lima ribu. Jadi lima puluh ribu. “Seribu dibalas lima puluh ribu” kata Nanda.

Sejak saat itu, Nanda semangat bersedekah. Bahkan di benaknya, sedekah terus. Setiap lihat orang ia selalu terpikir, apa yang dapat diberikan kepada orang itu. Mentalnya pun berubah, jadi ingin selalu memberi. Bahkan, yang tidak ada, ingin ia adakan. Ia membuat program sedekah yang beragam, walaupun itu kecil kecilan. Sampai suatu hari, ia benar benar mengandalkan sedekah ini agar jualannya nanti malam laris manis. Bukan kebetulan, objek sedekah datang dengan sendirinya. Tanpa perhitungan, di datang seorang tamu ke rumahnya. Dimuliakannya tamu tersebut. Dirogohnya pesak untuk membeli hidangan kepadanya. Sampai hanya sedikit lagi uangnya yang tersisa, bahkan tidak cukup untuk membeli bensin. Namun, ia tetal senang dapat melakukan hal tersebut. Dan, dalam alam bawah sadarnya, Nanda berbisik, “moga moga malam ini laku lagi jualannya, apa yang saya keluarkan pasti terbalas (dibalas oleh Alloh), melalui apa dan siapa saja wasilahnya”.

Di samping sugesti demikian itu, Nanda juga berusaha bersungguh-sungguh ibadah. Sholat awal waktu dan dzikir dioptimalkan. Ia teringat pesan gurunya, ” sholat awal waktu tidak akan susah seumur hidup”. Demikian kata Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul. Bahkan di sepanjang jalan ia selalu bersholawat. Namun, saat itu lah ternyata suatu keadaan yang aneh mulai dirasakannya. Di tengah jalan pikirannya nampak buyar. Hatinya jadi gelisah. Ternyata, ia ingat bahwa sendoknya untuk mengocek kopi, tertinggal di kontrakan. Ia agak kesal dengan hal ini. Ia pun balik lagi ke kontrakan untuk mengambilnya. Cepat cepat ia segera menuju Malioboro setelah mengambil sendoknya. Sudah tidak sabar berjualan. Namun, keadaan gelisah, masih belum hilang. Sembari berkendaraan, ia merasa ada yang aneh. Tidak seperti hari-hari sebelumnya.  Tapi Nanda tetap berangkat serta tidak mengetahui apa yang terluput darinya. Ia hanya mencoba meyakinkan diri sendiri, “dalam keadaan gelisah begini, jualan harus tetap jalan”.

Sampai diparkiran, ia sedekah lagi. Berharap lancar jualanya. Namun, ternyata terjadi suatu yang membuatnya kesal. Ternyata gelas plastiknya tertinggal di kontrakan. Padahal sudah ada dua orang memesan kopinya. Ia pun mencari cari penjual gelas plastik. Di sini ia juga kesal lagi. Ternyata harga gelasnya tujuh ribu lima ratus, sedanhkan ia hanya punya lima ribu. Malah, penjualnya tidak mau dihutangi dulu. Terpaksa ia mencari pinjaman dua ribu. Dan untungnya ada ibu ibu yang meminjami uang itu sehingga ia bisa membeli gelasnya. Namun di sini, ia bukan merasa lega, justru gelisah lagi. Karena, si penjual gelas melarangnya membeli gelas di warungnya karena malu oleh ulahnya. Nanda bilang kepada warung sebelah bahwa si ibu itu, tidak mau membantu dirinya meminjami dua ribu saja, padahal akan diganti setelah jualan nanti. Ini membuat Nanda tidak konsen berdagang karena merasa berdosa. Namun Nanda berusaha tenang, tapi tidak berhasil. Ia jadi susah senyum. Merasa berat hatinya. Keadaan batin yang begini, mungkin berpengaruh pada jualannya. Sudah tiga kali bulak balik dari titik nol sampai stasiun tugu, hanya satu kopi yang terjual. Nanda heran. Padahal sudah bersedekah.

“Apa sebab jadi begini?” tanya Nanda dalam hati. Mungkin gara gara si ibu tadi kesal padanya. Mendoakan tidak baik pada dirinya. Tapi Nanda ego. Ia anggap justru ibu itu yang salah karena tidak mau bantu dirinya dalam keadaan sulit, padahal hanya dua ribu saja. Selama Nanda berpikir seperti itu, dan menganggap dirinya sudah menabung sedekah, jualannya tidak laku. Nanda pun akhirnya menyemai rasa. “Kenapa begini? Apa ini penyebabnya, dagangannya jadi tidak laku?”. Ia juga mulai melupakan kebaikan yang sudah dilakukannya. Lalu fokus pada dirinya yang telah membuat kesal si ibu tadi. Ia berbisik “ya Alloh, baru laku satu, tidak cukup buat belo bensin dan makan besok”. Di sini ia lupa rencana-rencana sedekah yang sudah dilist olehnya. “Saya harus bagaimana kalau begini?”. Ujarnya. Ia pun jadi pasrah. Ia sadar pasti gara gara si ibu kesal tadi, ia jadi susah jualannya. Entah, Nanda jadi fokus pada kesalahannya. Di sana ia menyesal. Namun belum juga laku jualannya. “Lalu, apa yang harus saya lakukan?”. Saat itu, ia tiba tiba teringat pesan guru ngaji di madrasahnya, bahwa saat sulit, Nabi Nuh membaca istighfar, “Laa Ilaaha Illaa Anta Subhaanka Innii kuntu minaddzaalimiin”. Sejak ingay itu, ia beralih ke tempat dagang yang agak sepi penjualnya di alun alun. Dan selama berjualan ia membaca istigfar tersebut. Tanpa memikirkan akan laku, tanpa lama memutari alun alun, beberapa meter berjalan, tujuh kopi terjual, bahkan ada orang yang memanggilnya membeli kopi, tanpa menawarkan terlebih dahulu sampai akhirnya air panas di termos habis. Ia pun bisa pulang membawa uang, bisa beli bensin, dan lebih dari cukup untuk makan besok pagi. Dalam benaknya, Nada berkata, sekalipun orang bersedekah, Alloh akam tetap mengujinya, sampai yakin bahwa Alloh yang memberi rejeki, bukan sedekah yang dilakukannya, tapi dari sini, ia pun dapat belajar lagi arti sedekah dalam hidup.

Setelah Sulit ada Kemudahan

Kalimat tersebut sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita sebagai umat Islam. Itu adalah kalimat yang diambil dari Al-Qur’an surat Al-Insyirah. Di dalam surat tersebut Alloh SWT berfirman, “maka sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan”. Kemudian Alloh SWT mengulanginya kembali, “sesungguhnya, beserta kesulitan itu, ada kemudahan”.

Cukup jelas dari kedua ayat di atas, terdapat pelajaran bahwa pada saat kita tertimpa suatu kesulitan, tentu akan ada kemudahan. Dalam arti, akan ada jalan keluarnya. Bahkan sebagaimana firman tersebut yang menggunakan kata ‘inna’ bermakna taukid mengandung arti sungguh. Artinya, setelah ada kesulitan kita harus percaya bahwa setelahnya insya Alloh akan ada kemudahan. Bahkan, Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul, mengatakan untuk memantapkan keyakinan kita, ” segala kesulitan, jangan dijadikan kesulitan, jadikan kemudahan”. Dalam hal ini, beliau memberikan petunjuk kepada kita agar optimis di hadapan Alloh SWT, dzat yang memberikan kemudahan atas segala kesulitan yang menimpa kita. Mungkin, itu adalah ujian bagi kita, untuk dapat mendapatkan keadaan yang lebih baik.

Banyak ragam kesulitan yang dialami oleh manusia. Baik itu ekonomi, sosial dan mentalitas. Seorang yang malu berjualan misalnya, akan sulit pergi ke tempat keramaian membawa barang dagangan untuk berjualan. Seorang yang malu berbicara, akan sulit berbicara di hadapan umum. Tetapi keadaan itu tidak lah saklek. Kesempatan untuk berubah selalu ada selagi kita mau berubah. Dalam hal ini, berubah dari yang awalnya malu menjadi tidak malu, karena yang dilakukannya adalah sebuah kebaikan. Suatu perbuatan yang sebenarnya itu disukai orang lain, hanya saja terkadang mind sett kita, alam bawah sadar kita, sudah mengatakan kita tidak dapat melakukan suatu kebaikan. Padahal itu, disadari atau tidak, telah membatasi diri kita untuk menjadi lebih baik lagi di kemudian hari.

Solusinya adalah perlu mendapatkan stimulasi dari lingkungan. Dalam hal ini, lingkungan yang dapat merubah mind sett kita yang memandang negatif terhadap suatu pekerjaan yang positif. Dalam konteks berjualan, ada istilah hypno-selling, yang dapat memberikan kepada kita jalan agar kita percaya bahwa yang kita lakukan adalah baik. Kita berjualan, karena kita butuh uang.

Dan uang, semua insan di dunia tahu, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Subhan itu adalah basic need. Itu keperluan dasar. Kebutuhan pokok. Tidak punya uang akan susah makan, karena nasi dan lauk pauknya harus dibeli dengan uang. Sampai di situ kita sudah dapat menyadari bahwa berjualan adalah positif dan fungsinya, untuk memenuhi kebetuhan dasar kita.

Namun, tak jarang kita juga menemukan kesulitan pada saat berjualan. Dagangan tidak laku, padahal sudah menawarkan dagangan kita kepada banyak orang. Dalam keadaan seperti ini, kita perlu melakukan evaluasi. Apakah karena dagangan kita yang tidak enak rasanya? Konsumen sudah bosen? Atau kitanya yang belum optimal memberikan pelayanan kepada konsomen? Bisa jadi pertanyaan yang terakhir ini adalah faktor penyebabnya walaupun memang yang terakhir itu acap kali tidak diindahkan. Atau itu terlupakan karena orientasi kita sekedar ingin laku jualan, bukan ingin melayani agar laku.

Evaluasi seperti ini, nampak sederhana tetapi harus ada. Tujuannya adalah agar kita dapat mengoreksi di bagian mana kekurangan kita. Lalu, apa yang dapat kita kerjakan untuk melengkapi kekurangan kita. Dalam konteks evaluasi ini, kita bisa melakukannya dengan melakukan komparasi antara capaian kita dengan capaian orang lain. Bilamana capaian kita hanya 5 sementara orang lain 10, itu tentu ada yang kurang dari kita, dan ada yang lebih dari orang lain, dan mungkin itu tidak ada di kita. Dengan begitu, kita dapat memperbaiki kekurangan kita.

Dalam keadaan seperti ini, kadang kita ingin terpacu sama dengan orang lain, dalam angka, model, dan gayanya. Namun sebenarnya itu juga tidak diperlukan. Yang kita perlukan, adalah action, memulai dari yang ada. Kalau kita punya lima, mulai lah dari lima. Kalau kita hanya punya tanya tangan untuk menjingjing rentengan kopi, mulailah dengan menjinjing, dan tidak perlu menggunakan keranjang seperti orang lain kalau belum punya. Mungkin ini dianggap sulit, tetapi seharusnya tidak.

 

 

 

 

 

How to Build Self Comparation

Hasil gambar untuk self comparison

Itu lah pertanyaan mendasar saya setelah menyimak penjelasan Dr. Subhan* tentang self comparation. Secara harfiah self comparation artinya perbandingan diri. Dalam hal ini maksudnya adalah membandingkan diri kita sendiri dengan orang lain. Bisa itu membandingkan kebaikan dengan kebaikan atau keburukan dengan keburukan, bisa juga membandingkan keburukan dengan kebaikan.

Artinya dalam diri kita terdapat kebaikan yang itu bisa kita bandingkan dengan kebaikan orang lain. Sejauhmana kah kebaikan kita bilamana dibandingkan dengan orang lain. Begitu pula dengan keburukan. Seberapa buruk kita bilamana dibandingkan dengan orang lain. Dan yang terakhir seberapa buruk kah kita bilamana dibandingkan dengan orang lain atau sebaliknya, seberapa baik kita bilamana dibandingkan dengan orang lain.

Dari self comparation tersebut maka kita dapat melihat siapa diri kita di hadapan orang lain dalam hal kebaikan dan keburukan. Dalam hal ini kita jadi dapat mengoreksi diri kita. Apakah kebaikan kita sudah sama dengan orang lain. Begitu juga dengan keburukan. Dalam hal apa kesamaannya? Dan dalam hal apa bedanya bilamana ada perbedaan.

Dengan melihat persamaan dan perbedaan ini, maka kemudian hasilnya kita dapat mengukur diri kita dalam konteks perkembangan diri. Bilamana orang lain 10, maka kemudian kita dapat mengukur, kita ada di angka berapa dalam menjalani kebaikan dan keburukan. Setelah kita mengetahui kemudian kita mulai mengevaluasi. Kenapa itu terjadi dan bagaimana itu bisa terjadi?

Dalam rangka menemukan posisi diri kita, pengertian self comparation ini menjadi perlu dipahami. Namun demikian, teori ini tidak sebatas hanya memperbandingkan diri kita dengan orang lain melainkan juga dengan diri kita sendiri. Artinya, self comparation ini di samping bersifat sinkronis ada juga sifat diakronisnya. Dalam hal ini kita tidak hanya mengukur kemampuan kita, kebaikan kita serta keburukan kita dengan orang lain. Tetapi juga dengan diri sendiri di masa lalu.

Maksudnya segala kebaikan, keburukan atau yang lainnya secara lebih rinci seperti potensi, kemandirian, ketergantungan, kesalehan sosial, kesalehan spiritual dan kecerdasan emosional kita juga bisa kita bandingkan. Apakah semua hal itu sama antara kita yang dahulu dengan yang sekarang. Lalu, apakah ada perbedaannya? Dan kenapa itu bisa terjadi.

Namun kemudian pertanyaan itu baru dapat mengantarkan kita pada sebuah analisa diri kita. Belum mengantarkan kita pada sebuah keputusan untuk bertindak. Maka setelah mengetahui kekurangan dan kelebihan kita, langkah selanjutnya adalah menentukan sikap. Apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan kebaikan kita, setidaknya di mata kita sendiri kita telah berusaha menjadi lebih baik dibandingkan yang kemarin.

Proses ini pada akhirnya, akan membawa kita dalam arena syukur kepada Alloh. Hal ini karena bilamana kita dapat mengetahui tahapan-tahapan yang kita tempuh, yang di sana kita dihadapkan pada suatu keadaan yang tidak sesuai dengan yang kita inginkan, kita dapat mengukur siapa diri kita baik di hadapan orang lain atau pun diri kita sendiri.
*) Mahasiswa S3 di jurusan Psikologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang menekuni psikologi Islami sebagai fokus kajiannya. Beliau juga sebagai hypnoterapis Indonesia yang telah berpengalaman dalam berbagai melakukan coaching di bidang tersebut sejak tahun 1980-an.

Keberkahan Hidup Bapak Sumardi

berkah

Dalam artikel ini saya ingin berbagi cerita tentang keberkahan hidup. Ada banyak fenomena kehidupan yang saya jumpai di sekeliling saya sangat berkaitan dengan konsep keberkahan hidup ini. Namun dalam hal ini saya hanya akan menceritakan keberkahan hidup dari pengalaman seseorang.

Sebelum menceritakan pengalaman tersebut, saya rasa perlu membahas terlebih dahulu konsep keberkahan itu sendiri. Sudah masyhur dalam petuah petuah para ulama yang kita dengar dalam majlis ilmu bahwa berkah itu asalnya berasal dari kosa kata (mufrodat) bahasa Arab. Berkah asalnya dari kata baroka, yabruku, barkatan. Artinya berkah.

Dalam penafsiran kebanyakan para alim ulama, salah satunya Syaikh Muhammad Abdul Gaos Saefulloh Maslul mengatakan bahwa berkah adalah “ziyadatul khoir”. Artinya bertambah kebaikannya. Dalam hal ini kebaikan seseorang terus bertambah. Sepertinya, konsep berkah ini dapat dihubungkan dengan hadits nabi, bahwa orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik dari pada hari kemarin. Sedangkan orang yang rugi sebaliknya, hari ini tidak lebih baik dari kemarin, dan celaka bilamana hari ini lebih buruk dari hari kemarin.

Dengan demikian, berkah hidup dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang terus mengalami, menemukan dan mendapatkan suatu kebaikan. Ia berjalan di atas jalan atau kondisi yang baik. Artinya jalan yang tidak membuatnya merasa tertekan, baik itu secara material atau pun immaterial. Dalam hal ini, ia dapat merasakan kepuasan hidup, walaupun dalam keadaan material seperti ekonominya tidak banyak. Tetapi ia merasa cukup. Sedangkan ketidak berkahan, ia tidak merasa cukup walaupun harta kekayannya berlimpah.

Kisah yang saya ceritakan di sini dapat dipandang dari sisi keberkahan hidup. Seseorang yang saya sebut Sumardi bukan nama yang sesungguhnya. Ia bekerja sebagai guru besar di salah satu kampus ternama di Indonesia. Disiplin ilmu yang ditekuni olehnya sejak kecil, berhasil mengantarkan dirinya menjadi seorang yang sukses. Dalam hal ini kesuksesan dalam bidang akademik. Karirnya dimulai dari S1 di UGM, lalu ke Australia untuk S2 dan S3 dan kemudian diangkat menjadi guru besar di Indonesia di UGM.

Perjalanan sampai ke puncak karir akademis di atas tingkat doktoral tersebut tentu tidaklah mudah. Baginya, mungkin itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Latar belakang perekonomiannya boleh dikata tidak memadai untuk dapat menaiki tangga akademis yang memerlukan biaya mahal tersebut. Namun satu persatu, perlahan lahan ia dapat menyelesaikannya. Bahkan dalam waktu yang relatif singkat. Kini di usianya yang kurang lebih 50-an ini, telah menjadi guru besar di Fakultas Psikologi UGM. Artinya, ia menemukan keberkahan hidup.

Dalam sebuah pertemuan di madrasah tempat beliau mengaktualisasikan wawasan serta pengalamannya kepada masyarakat, beliau pernah mengatakan bahwa semua (keberkahan) ini tak mungkin dapat terjadi tanpa melibatkan dimensi ketuhanan dalam setiap proses yang dilalui untuk mencapai cita cita. Sebagai sebuah langkah tersebut, sejak menjadi mahasiswa S1 hingga kini istiqamah mengamalkan dzikrulloh sebagai sebuah cara mendekatkan diri kepada Alloh agar segala hajat tercapai dengan segala keberkahannya.

Bilamana dikaitkan dengan konsep keberkahan yang dikatakan di awal, keberkahan professor yang akrab disapa bapak Sumardi ini nampak pada kebaikannya yang terus bertambah. Secara historis, perjalanan karirnya terus meningkat dari S1 ke S2 dan S3 sampai ke tingkat professor. Jarang orang mendapatkan kesempatan ini. Dan untuk sampai pada puncaknya, banyak orang berguguran, walaupun sampai telah mengeluarkan banyak harta. Tetapi orang yang berkah di sini dengan segala keterbatasannya tetap bertahan di antara yang berguguran.

Mungkin ini dipandang cerita biasa yang sangat banyak ditemui mahasiswa di kampus. Tetapi dilihat dari sisi perjuangannya, tidak mudah menjadi seorang ilmuan, guru besar menjadi luar biasa. Karena berkah rejekinya, baik itu ilmu, akhlak, hart, keluarga dan pengalamannya semuanya itu menjadi supporter bapak Sumardi untuk sampai pada sesuatu yang ingin dicapainya (Minggu, 27 Agustus 2017).